top of page
Search

Kisah tentang Air Mata, Doa, dan Keindahan Turki

  • Writer: Hasan Basri
    Hasan Basri
  • 3 hours ago
  • 3 min read

ree

Angin malam Istanbul bertiup pelan, seakan menyampaikan pesan dari masa lalu. Cahaya kota memantul di permukaan selat Bosphorus, sementara kapal-kapal kecil bergerak perlahan seperti potongan cerita yang sedang mencari akhirnya. Di antara kerlip lampu itu, seorang peziarah dari Indonesia duduk diam, menatap ke kejauhan. Air matanya menetes, bukan karena sedih, melainkan karena hatinya baru saja menjalani perjalanan yang mengubah hidup. Tidak banyak tempat di dunia yang bisa membuat seseorang menangis hanya karena keindahan, tapi Turki melakukannya dengan cara yang misterius.


Perjalanan itu dimulai jauh sebelum Istanbul. Semua dimulai dengan langkah pertama di Masjidil Haram. Saat tangan menyentuh Kiswah, saat dahi menyentuh lantai suci, saat doa dipanjatkan dengan suara bergetar, dunia seolah berhenti. Tidak ada yang lebih berarti dari kedekatan dengan Allah سبحانه وتعالى. Ketika ibadah selesai di Madinah, ketika salam terakhir diberikan di depan makam Rasulullah ﷺ, hati terasa penuh. Namun kehidupan selalu punya cara memperpanjang cerita. Dari tanah suci perjalanan berlanjut ke negeri dua benua, tempat di mana sejarah Islam tertulis dengan tinta kebesaran.


Dan begitulah langkah berpindah menuju Turki, bukan sekadar liburan, tetapi untuk melanjutkan jejak-jejak perjalanan spiritual. Di Istanbul, Hagia Sophia menyambut rombongan layaknya pelindung zaman. Bangunan raksasa dengan kubah megah itu berdiri kokoh seperti saksi hidup perjuangan peradaban. Ketika seseorang berdiri di bawah kubahnya, mendongak melihat tulisan kaligrafi raksasa dan mosaik ribuan tahun, ada perasaan kecil sekaligus agung yang muncul bersamaan. Di tempat ini, manusia sadar: betapa kecil dirinya, betapa besar kuasa Tuhan.


Namun momen paling dramatis justru hadir saat adzan Magrib berkumandang. Suara muazin yang menggema dari menara Masjid Biru menyapu seluruh kota. Seorang jemaah wanita yang sejak awal perjalanan terlihat tegar, tiba-tiba menangis tersedu, seakan ribuan kenangan hidupnya runtuh dalam satu tarikan napas. Ia pernah bermimpi menjadi orang yang lebih baik, pernah kecewa pada dunia, pernah jatuh berkali-kali. Dan kini, suaranya bergetar, “Aku ingin memulai semuanya lagi.” Turki menjadi saksi bahwa perjalanan tidak hanya memindahkan tubuh, tetapi juga jiwa.


Petualangan berlanjut jauh dari keramaian Istanbul. Rombongan bergerak menuju Cappadocia tanah dongeng yang tak pernah habis diceritakan. Subuh hari, saat udara masih menggigit kulit, para wisatawan berkumpul di atas bukit berbatu. Langit masih gelap, namun perlahan cahaya jingga muncul di ufuk timur. Satu per satu balon udara naik ke langit, seperti harapan-harapan baru yang terbang tinggi meninggalkan masa lalu. Banyak orang mengabadikan momen itu dengan kamera, tapi ada seorang ayah yang justru memejamkan mata. Setelah bertahun-tahun bekerja tanpa henti untuk keluarga, ini pertama kalinya ia mengizinkan dirinya merasakan bahagia tanpa rasa bersalah. “Begini rasanya lega,” bisiknya.


Dari Cappadocia, perjalanan bergeser ke Pamukkale. Hamparan kolam putih bertingkat seakan membentuk tangga menuju langit. Air hangat mengalir perlahan, membasuh telapak kaki siapa pun yang berjalan di atasnya. Seorang pria paruh baya merendam kakinya sambil menatap istrinya. Mereka bertahun-tahun melalui rintangan hidup, kehilangan, bangkit, lalu merancang perjalanan ini sebagai janji untuk menyembuhkan diri bersama-sama. Di Pamukkale, mereka tidak banyak bicara, tetapi genggaman tangan mereka mengatakan segalanya.


Akan tetapi Turki belum selesai menunjukkan mukjizatnya. Di Kusadasi dan Izmir, lautan biru memeluk tepian kota seperti pelukan hangat setelah badai. Rombongan mengunjungi Ephesus, kota tua Romawi yang tetap berdiri megah meski waktu berusaha meruntuhkannya. Ketika pemandu wisata menceritakan sejarahnya, salah satu jemaah bergumam pelan, “Bangunan saja bisa bertahan selama berabad-abad. Masa semangat kita kalah?” Kalimat sederhana, tapi menusuk ke hati banyak orang.


Perjalanan ditutup dengan Bursa kota yang dulu menjadi pusat kekuasaan Kesultanan Utsmaniyah. Di pasar tradisionalnya, azan Dzuhur terdengar dari Masjid Ulu Cami, menggetarkan ribuan dada. Ada rasa pulang yang aneh seolah tanah asing ini bukan sekadar tempat singgah, tetapi bagian dari perjalanan hati yang sudah ditentukan Tuhan sejak awal.


Banyak wisatawan memutuskan perjalanan seperti ini melalui program umroh plus turki. Kombinasi antara ibadah yang khusyuk dan wisata sejarah penuh makna terbukti membuat pengalaman spiritual terasa jauh lebih utuh. Tidak hanya berdoa, tetapi juga belajar, bersyukur, mengingat, dan jatuh cinta lagi pada kehidupan.


Di penghujung perjalanan, rombongan kembali duduk di tepi Bosphorus. Tidak ada riuh, tidak ada kamera, hanya keheningan yang memeluk. Masing-masing mengenang hal yang mereka temukan di Turki: ada yang menemukan ketenangan, ada yang menemukan harapan baru, ada yang menemukan jawabannya sendiri.


Lalu pesawat terbang kembali ke tanah air. Tapi tidak ada yang benar-benar pulang dalam keadaan yang sama. Turki mengubah mereka, dalam diam.

Perjalanan ini bukan akhir tetapi babak baru kehidupan.

 
 
 

Comments


© 2035 by Annabelle. Wix

LET'S TAKE IT TO THE NEXT LEVEL

Thanks for submitting!

bottom of page