top of page
Search

Cerita Nyata Umroh Mandiri Penuh Pembelajaran Hidup

  • Writer: Hasan Basri
    Hasan Basri
  • 4 days ago
  • 3 min read

ree

Tidak ada yang benar-benar mempersiapkan kami untuk perjalanan itu. Berbulan-bulan sebelum keberangkatan, aku dan istriku merencanakannya dengan ambisi besar: memesan tiket sendiri, mencari hotel sendiri, dan menentukan jadwal ibadah tanpa bantuan siapa pun. Kami ingin merasakan ibadah secara langsung, tanpa agenda ketat atau rombongan besar. Namun idealisme itu berubah jadi perjalanan penuh ujian sejak hari pertama kaki ini meninggalkan tanah air.


Sesampainya di bandara King Abdulaziz, kami berdiri terpaku. Pintu kedatangan penuh sesak. Orang-orang berlalu lalang dengan tujuan masing-masing. Tidak ada satu pun petugas yang memperhatikan, dan tidak ada tanda arah yang mudah dipahami. Dalam hati aku bertanya: apakah kami sudah melakukan kesalahan besar? Tapi sebelum ragu itu semakin kuat, aku mengingat perjalanan ini bukan untuk mencari kenyamanan, melainkan mencari ridha Allah.


Kami mencari transportasi untuk menuju Makkah. Baru beberapa menit, seorang sopir menawarkan harga tinggi sekali. Aku menawar, ia marah. Aku mencoba lagi dengan sopir lain, kali ini dengan bahasa Arab seadanya. Perdebatan singkat terjadi sebelum akhirnya kami sepakat dengan harga yang lebih masuk akal. Ketika mobil mulai melaju, aku menggenggam tangan istriku seolah berkata tanpa suara bahwa semuanya akan baik-baik saja.


Namun saat mobil mulai mendekat ke Makkah, tiba-tiba jalan dialihkan. Sopir menjelaskan sesuatu dalam bahasa Arab yang kami tidak mengerti. Kami dibawa memutar jauh dengan waktu tempuh hampir dua kali lipat. Di tengah kelelahan, kami hanya bisa duduk dalam sunyi, berharap semua akan berakhir di tempat yang tepat. Dan ketika akhirnya pemandangan Masjidil Haram terlihat dari balik gedung, aku tak bisa menahan air mata. Semua rasa lelah, takut, dan tidak tahu menjadi hilang seolah disapu oleh ketenangan.


Hotel kami ternyata jauh lebih sederhana dari ekspektasi, jauh dari foto-foto yang terlihat di internet. Tetapi resepsionis yang ramah menyapa dan memberikan kunci kamar membuatku merasa Allah mempertemukan kami dengan orang baik di waktu yang tepat. Malam itu kami tidur dengan perasaan campur aduk: antara syukur dan kekhawatiran tentang hari berikutnya.


Tawaf pertama kami adalah babak baru dalam perjalanan ini. Di tengah lautan manusia, aku merasakan sesuatu yang tidak pernah kualami sebelumnya. Aku tidak lagi memikirkan jadwal, pekerjaan, atau urusan hidup. Aku hanya berjalan mengelilingi Ka'bah, menahan tangis karena merasa begitu dekat dengan Sang Pencipta. Kami berdua mengikuti arahan di catatan ponsel dengan seksama, takut melakukan kesalahan. Dan di momen itulah aku memahami bahwa perjalanan ini mengajarkan kami untuk bersungguh-sungguh memahami ibadah, bukan sekadar mengikuti arahan orang lain.


Ada kejadian yang tak akan pernah terlupa. Setelah selesai tawaf, aku dan istriku sempat kehilangan arah saat mencari tempat sai. Kami terjebak di kerumunan jamaah yang menuju pintu luar. Aku mencoba memastikan arah sambil menarik koper kecil berisi perlengkapan. Di tengah kebingungan itu, ada seorang pria tua yang menepuk bahu kami dan berkata dalam bahasa Melayu: "Ke sai ya? Ikut saya." Ia menunjukkan jalur yang benar lalu pergi begitu saja tanpa sempat kami ucapkan terima kasih. Momen kecil itu seperti pesan bahwa Allah selalu mengirim pertolongan melalui siapa saja, kapan saja.


Sai adalah ujian fisik yang tak terduga beratnya ketika tanpa pendamping. Ada saat istriku hampir menyerah karena sakit kaki dan kelelahan. Aku ingin menyuruhnya berhenti, tapi ia berkata: "Ini ibadah kita. Kita datang jauh-jauh untuk ini. Kita selesaikan bersama." Kalimat itu membuatku sadar bahwa perjalanan spiritual bukan hanya hubungan seorang hamba dengan Allah, tetapi juga hubungan satu manusia dengan manusia lain yang saling menguatkan.


Selama di Makkah, kami banyak belajar tentang arti berserah. Tidak semuanya berjalan sesuai rencana. Jadwal makan berantakan, rute pulang sering salah, kaki sering kram karena jarak hotel yang lumayan jauh. Tetapi justru melalui semua ketidaknyamanan itulah kami belajar arti sabar. Kami juga bertemu jamaah dari berbagai negara yang melakukan hal serupa: datang bukan sebagai wisatawan ibadah, tetapi sebagai pencari kedekatan hati. Dari situ aku mengerti bahwa perjalanan seperti ini bukan hanya tentang keberanian, tetapi juga kerendahan hati.


Setelah beberapa hari, kami melanjutkan perjalanan ke Madinah. Suasananya jauh lebih damai. Kota ini seperti pangkuan untuk jiwa yang lelah. Ketika pertama kali memasuki Masjid Nabawi, aku merasakan kehangatan yang berbeda dari Makkah. Seperti ada cinta yang menyelimuti setiap langkah. Menziarahi makam Rasulullah ﷺ menjadi puncak rasa rindu yang selama ini terpendam. Tidak ada pemandu, tidak ada yang mengarahkan. Tapi entah bagaimana kami mampu sampai ke tempat itu dengan tertib, seolah hati ini yang membimbing.


Pengalaman umroh mandiri ini bukan perjalanan yang mulus. Ada tangis, kelelahan, rasa takut, bahkan rasa ingin menyerah. Tetapi di sisi lain ada ketenangan, kekuatan, dan kebahagiaan yang tidak bisa diukur dengan kata-kata. Kami datang dengan rencana tersendiri, tetapi pulang dengan rencana Allah yang jauh lebih indah.


Kini setelah kembali ke rumah, aku mengerti satu hal penting: tidak semua perjalanan perlu dibuat mudah. Ada perjalanan yang justru membutuhkan ujian agar kita bisa menemukan siapa diri kita sebenarnya. Dan perjalanan ini adalah salah satunya.

 
 
 

Comments


© 2035 by Annabelle. Wix

LET'S TAKE IT TO THE NEXT LEVEL

Thanks for submitting!

bottom of page